Senin, 31 Oktober 2016



Haji Rokok dari Pulau Seribu Masjid

Jika Anda pernah berwisata ke Lombok dan terkagum-kagum akan keindahan pantai serta pulau-pulau kecil nan eksotis yang dimilikinya, maka Anda kemungkinan masuk kategori wisatawan kelas pekerja yang datang berlibur setelah bertahun-tahun dibelenggu pekerjaan sampai lupa cara bahagia. Jika Anda pernah mendaki gunung Rinjani di Lombok dan terkesan dengan pesona jalur pendakian serta Danau Segara Anak di puncaknya, bisa jadi Anda hanya terobsesi mendaki setelah jadi korban film 5 cm. Tapi jika Anda ke Lombok di musim kemarau dan terkenang dengan tanaman tembakaunya yang terhampar hijau , maka Anda berpotensi menjadi traveler sejati. Sebab bukan hanya menikmati alamnya yang indah, tapi Anda telah berhasil masuk dalam siklus hidup (pertembakauan) masyarakatnya. Lho, kok malah promo wisata ini bukannya nulis tentang rokok.

Oke, back to(bacco)  alias tembakau
Selain dianugerahi alam mempesona, Tuhan juga memberi Lombok tanah yang subur. Alhamdulillah yaah. Kabar baiknya adalah tanah Lombok khususnya bagian timur sangat cocok dengan tanaman tembakau berbagai jenis. Entah kapan dimulai, sekonyong-konyong korporasi-korporasi besar di bidang pertembakauan tanpa diberi aba-aba  berlomba mengekspansi Lombok dengan kucuran modalnya sejak puluhan tahun lalu. Tidak kurang perusahaan-perusahaan besar macam Djarum, Sampoerna, Bentoel, British American Tobacco, dan lain-lain mendirikan semacam cabang perusahaan. Maka, berdirilah gudang-gudang tempat menampung tembakau virginia hasil panen petani sebelum diangkut ke pabrik-pabrik rokok di Jawa atau bahkan dikirim sampai luar negeri.    

Sebagai orang yang tumbuh dan besar dalam keluarga petani tembakau, saya memamahami betul perjalanan jatuh bangun petani tembakau di Lombok tiap musim. Untung dan rugi tiap tahun sudah biasa. Petani di Lombok tidak pernah kapok menanam tembaku meski lebih sering rugi daripada untung jika dipersentasekan. Jika diibaratkan sama halnya dengan seseorang yang ditolak cintanya berkali-kali oleh gadis yang sama, tapi tak pernah lelah nembak alias mengungkapkan cintanya dengan berbagai metode. Aisssh kok malah baper.  Petani tembakau telah kebal dengan siklus untung rugi.       

Lombok juga dikenal dengan sebutan pulau seribu masjid. Lombok adalah pulau dengan populasi penduduk mayoritas beragama Islam. Tapi jika instrumen keislaman salah satunya diukur dengan ketaatan terhadap fatwa haram tentang rokok atau tembakau, maka petani Lombok adalah orang yang paling memprihatinkan taraf keislamannya. Lha, bagaimana tidak ketika fatwa haram rokok dan kampanye anti tembakau dilakukan di mana-mana, petani tembakau di Lombok malah semakin memperluas area tanamnya guna mensuplai bahan baku pabrik-pabrik rokok di Jawa. Mereka bukan saja mengabaikan fatwa haram rokok, tapi yang lebih ekstrem adalah mereka menggunakan keuntungan dari bertani tembakau untuk membayar ongkos naik haji (ONH).
 
Saya bukan ahli ekonomi ataupun ahli statistik yang mampu menganalisa neraca pendapatan petani tembakau tiap musim tanam dari tahun ke tahun. Wong saya saja tidak mampu menghitung pendapatan dan pengeluaran saya tiap bulan kok. Saya hanya tahu banyak orang di kampung saya di Lombok naik haji dari hasil menanam tembakau.

Sejak tembakau virginia mulai dikembangkan di Lombok puluhan tahun lalu, saya haqqul yakin tiap tahun ada puluhan orang dari Lombok yang menyetor ongkos naik haji (ONH) dari hasil bertani tembakau. Maka tiap musim haji tiba, saya sering membayangkan di depan Ka’bah pasti ada sekumpulan jemaah haji asal  Lombok yang diam-diam dalam hatinya berdoa supaya harga jual tembakau semakin membaik.  Khusus untuk musim haji tahun ini yang bertepatan dengan isu kenaikan harga rokok, maka para jamaah calon haji petani tembakau bisa jadi menambah doanya dengan khusyuk. Isi doanya hanya mereka dan tuhan (mungkin juga pemerintah) yang tahu. 

Sebelum menutup tulisan yang ngawur ini, saya ingin berbagi  sedikit cerita tentang seorang kawan yang kuliah di salah satu kampus ternama di Jogja dan ceritanya menjadi aktivis lingkungan di kampusnya. Sebagai aktivis lingkungan, sudah barang tentu dia menjadikan rokok sebagai musuhnya dengan berbagai dalilnya. Di media sosial, dia menjadi salah satu lokomotif utama kampanye anti rokok meski tak pernah bernasib mujur dijadikan duta anti tembakau. Nasib kawan saya satu ini jelas jauh berbeda dibandingkan Zaskia Gotik yang tidak hafal Pancasila tapi malah dijadikan Duta Pancasila outsourcing. Mestinya kawan saya ini merokok berbungkus-bungkus tiap hari kemudian berhenti agar lebih berpeluang menjadi duta anti tembakau.

Kembali ke kisah kawan tadi, saya begitu terkagum-kagum dengan ke-istiqamaha-nnya untuk berada di barisan terdepan pria tidak merokok. Saya saja yang dulunya sempat berikrar untuk tidak merokok malah sekarang tenggelam dalam lautan luka dalam barisan perokok aktif.  Ada yang menarik dari balik kegetolan kawan saya satu ini dalam jihadnya memerangi peningkatan jumlah perokok aktif di republik ini. Tiap liburan semester dan pulang ke Lombok, dia menghentikan semua propaganda anti tembakau dan anti rokoknya yang selama ini berkobar-kobar. Ketika kami nongkrong sembari ngobrol-ngobrol di kampung, tidak sedikitpun dia menyinggung kebiasaan saya yang mendadak jadi perokok aktif. Setelah dipikir-pikir, saya baru ingat ketika iseng-iseng nyoba nulis  buat bulan bogging KaBeeM UGM tentang rokok. Pantes saja kawan saya cuti jadi aktivis anti tembakau dan anti rokok ketika pulang liburan semester. Wong kami samaan sekolah dari SD sampai kuliah dibiayai oleh orang tua kami dari hasil bertani tembakau. Beberapa keluarga kamipun bahkan sama-sama bisa naik haji dari hasil bertani tembakau.  Labbaikallahumma Labbaik!